Ketua Pengurus Besar Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) dr Nurdadi Saleh SpOG mengeluhkan biaya jasa pelayanan yang tidak diatur dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), padahal sebelumnya diatur pada program Jamkesmas. 'Berdasarkan peraturan Jamkesmas pada 2011, disebutkan jasa pelayanan itu sebesar 44 persen dari paket tarif. Begitu juga pada peraturan Jamkesmas 2012, biaya jasa pelayanan diserahkan kepada kepala rumah sakit,' ujar Nurdadi di Jakarta, Rabu. Sayangnya, program JKN yang merupakan kelanjutan dari Jamkesmas tidak mengatur hal itu. Dokter di tingkat layanan lanjut dibayar melalui sistem renumerasi, yang merupakan kesepakatan antara dokter dan manajemen rumah sakit swasta maupun pemerintah. Tarif remunerasi tersebut dibayar dengan harga paket yang ada dalam Indonesia Case Based Groups (INA-CBG), termasuk penggunaan obat dan fasilitas lainnya. Tarif rumahsakit A, B, C, dan D berbeda bergantung pada fasilitas dan kapasitas di rumah sakit tersebut. 'Beda dong, antara jasa medik dengan remunerasi. Jasa medik mempunyai resiko medis, sementara remunerasi tidak,' jelas dia. Menurut dia, profesi tenaga kesehatan seperti dokter, perawat, dan bidan tidak bisa disamakan dengan pegawai tata usaha yang tidak mempunyai risiko medis. Dalam sistem INA-CBG's yang diterapkan dalam program JKN, tidak diatur mengenai besarnya jasa pelayanan. 'Misalnya rumah sakit dapat X, maka rumah sakit itu yang mengatur X itu,' kata dia. Seharusnya, dalam pelaksanaannya harus ada panduan yang mengatur mengenai besarnya jasa pelayanan. Akibat tidak adanya panduan dari Kementerian Kesehatan itu, setiap rumah sakit menetapkan besarnya jasa pelayanan dengan angka berbeda. Contohnya RS Fatmawati menetapkan 31 persen untuk jasa pelayanan, sedangkan RSUP dr Kariadi hanya 16 persen dari total biaya pengobatan pasien.(ant/rd)