Demi mencegah gratifikasi, Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan meminta pemberian sponsorship dari perusahaan farmasi atau alat kesehatan (alkes) tidak disalurkan langsung kepada dokter pegawai negeri sipil (PNS), melainkan ke institusi atau rumah sakit tempat dokter tersebut bernaung. “Khawatir, karena sesuai UU Tipikor itu masuk gratifikasi. Pemberian yang terkait dengan jabatan dan kewenangan dokter-dokter PNS harus dilaporkan ke KPK. Pemberian perusahan farmasi langsung ke individu dokter kemungkinan masuk gratifikasi, sehingga harus dilaporkan,” katanya saat acara FGD di KPK, Selasa (2/2). Selain khawatir menjadi gratifikasi, Pahala juga mengkhawatirkan pemberian sponsorship itu akan membuka peluang terjadinya conflict of interest (CoI). Hal ini kerap terjadi, misalnya dokter-dokter PNS lebih cenderung memberikan resep obat dari perusahaan farmasi tertentu karena terikat dengan si pemberi sponsorship. Masalahnya, sulit membedakan mana pemberian sponsorship atas dasar pamrih dan mana yang tidak. Oleh karena itu, KPK memfasilitasi pemangku kepentingan di bidang kesehatan, antara lain Ikatan Dokter Indonesia dan perkumpulan perusahaan farmasi untuk berdiskusi dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) selaku pembuat regulasi. Pahala menjelaskan, regulasi mewajibkan para dokter untuk memenuhi kredit guna memperpanjang izin praktik. Kredit itu bisa didapatkan dengan mengikuti seminar-seminar. Namun, aturan itu justru memunculkan banyak laporan dokter yang mengaku harus mengeluarkan banyak dana demi memenuhi kredit. Contohnya, dalam satu tahun dokter harus mendapatkan sekitar 50 kredit. Sementara, satu kali seminar hanya dihitung tiga sampai lima kredit. Apabila diakumulasikan, satu tahun, dokter-dokter itu harus mengeluarkan kocek sekitar Rp30 juta pertahun. Kebutuhan dana sebanyak ini membuka peluang pemberian sponsorship dari perusahaan farmasi. Nah, jika mengacu penjelasan Pasal 12B ayat (1) UU Tipikor, yang dimaksud gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, meliputi uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Fasilitas lainnya ini bisa diartikan menerima fasilitas sponsorship. Dengan demikian, agar pemberian sponsorship dari perusahaan farmasi atau perusahaan alkes tidak menjadi gratifikasi untuk dokter-dokter PNS, KPK menyarankan sponsorship diberikan melalui rumah sakit. Untuk dokter swasta, KPK menyarankan agar sponsorship disalurkan kepada lembaga atau institusi. Direktur Gratifikasi KPK Giri Supradiono melanjutkan, rumah sakit penerima sponsorship nantinya akan menyalurkan kembali kepada dokter-dokter sesuai bidang keahliannya. Agar tidak terjadi diskriminasi pemberian sponsorship, perusahaan farmasi atau alat pengundang tidak boleh menyebut nama dokter tertentu sebagai penerima sponsorship. Walau begitu, penyaluran sponsorship melalui rumah sakit ini bisa jadi menimbulkan masalah baru, yaitu korupsi korporasi. Apa tidak sebaiknya regulasi “kredit” untuk dokter itu dihapuskan demi menutup semua peluang korupsi? Ketika ditanyakan hal ini, Giri menjawab, “Kalau usulan itu harus mengubah UU Kedokteran. Bakal lama. Kita butuh solusi cepat”. Lebih bersih Irjen Kemenkes Purwadi sepakat dengan KPK yang menyarankan agar sponsorship tidak langsung disalurkan kepada dokter PNS, melainkan melalui rumah sakit. “Klimaksnya kita paham gratifikasi. Ke depan, jajaran Kemenkes, dokter, dokter gigi, supaya lebih bersih menjalani profesi tenaga kesehatan,” ujarnya. Terkait gratifikasi ini, menurut Purwadi, sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.14 Tahun 2014 tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Kesehatan. Namun, Permenkes ini akan direvisi untuk disempurnakan. Ia berharap satu minggu ke depan, sudah ada revisi Permenkes. Senada, Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Farmasi Dorodjatun Sanusi menyambut baik upaya KPK yang memberi penjelasan mengenai pencegahan gratifikasi. Upaya ini sekaligus memberi pencerahan bagaimana kerja sama yang profesiobal dan proporsional. Terlebih lagi, farmasi masuk industri andalan, sehingga harus mempunyai etika. Tidak hanya Dorodjatun, semua peserta FGD yang juga diikuti oleh Ikatan Dokter Indonesia, Badan POM, RSCM, RSUP Fatmawati, Konsil Kedokteran Indonesia, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, International Pharmaceutical Manufacture Group, GlaxoSmithKline Pharma, dan PT Merk Tbk sepakat dengan saran KPK. Mereka menyampaikan beberapa poin, antara lain setiap profesi kedokteran memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan dukungan dalam pengembangan pendidkan kedokteran berkelanjutan sesuai keahlian bidan keilmuannya. Untuk itu, pemberian sponsorship harus dilakukan secara terbuka tanpa konflik kepentingan. Mereka juga sepakat semua pihak mendorong tata kelola yang baik antata perusahaan obat dan alkes dengan profesi kedokteran, serta meninjau peraturan-peraturan yang ada agar sejalan dengan prinsip-prinsip pencegahan korupsi. Terutama, merevisi petunjuk teknis, SOP, dan kesepakatan bersama etika promosi obat. Sumber: hukumonline.com